Takbir dapat menggugurkan dosa diri.
Oleh Nasrullah.
Sembahyang mempunyai
beberapa syarat yang tidak sah sembahyangnya dengan ketiadaan syarat itu.
Syarat yang mendahului kita melaksanakan sholat atau sembahyang yaitu wudhu
dengan air atau tayamum jika tak tersedianya air untuk bewudhu. Selain itu juga
berdiri di tempat yang suci bersih misalnya seperti langgar Musholah dan
Masjid, menghadap kiblat dikala sanggup melakukannya dan mengetahui masuk
waktu. Hukum ini semua disepakati oleh imam-imam yang empat.
Keterangan
ini diambil dari Guru Fiqih Kami K.H.Abdul Khaliq.RA yang kami Cinta, Kasih dan Sayang semata-mata
karena Allah dan keterangan kitab hukum islam .
Kala itu Beliau membuka majelis ilmu fiqihnya dan menjelaskan keterangan
hukum tata cara wudhu dan rukun-rukun sholat. Demikian juga kitab hukum fiqih
pandangan 4 mahzab. Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah Tuhan Seru Sekalian
Alam) hari ini terakhir berada di bulan Rajab, bulan sebagaimana diketahui umat Muslim bahwa
Rasulullah.SAW melaksanakan perjalanan Isra Mir’aj bertemu Allah dan menerima
kewajiban bagi umatnya untuk melaksanakan sholat 5 waktu sehari semalam.
Kebijaksanaan Rasulullah.SAW yang memberikan keringanan bagi umatnya untuk
melaksanakan kewajiban sholat dari sebelumnya 50 kali sehari semalam menjadi 5
kali. Alhamdulillah. “Semoga Shalawat dan Salam Selalu Tercurah Atas Junjungan
Nabi Muhammad.SAW beserta seluruh keluarga dan para sahabat beliau hingga akhir
nanti”.
Lanjut lagi
keterangan syarat sah sembahyang lainnya adalah menutup aurat sebagai syarat
sah sembahyangnya. Ini disepakati oleh Abu Hanifah dan Ahmad. Kata Ashhab Malik
: Menutupi aurat menjadi syarat kalau sanggup dikerjakan dan teringat. Kalau
sengaja dibuka, padahal sanggup ditutupnya, batal deh sembahyangnya. Ada yang
berkata juga: Menutup aurat suatu wajib yang berdiri sendiri, bukan syarat sah
sembahyang. Jika seseorang bersembahyang dengan terbuka auratnya secara sengaja
dipandang durhaka kendati sembahyangnya itu dipandang sah. Dan yang dipegang
oleh ashhab Malik yang mutaakhirin, ialah tidak sah sembahyang bila dikerjakan
dalam keadaan terbuka ‘aurat.
Sembahyang
mempunyai rukun-rukun yang dikerjakan didalamnya, yaitu niat, takbiratul ihram,
berdiri bagi orang yang sanggup, fardhu membaca
ayat suci Al-Alqur’an (Al-Fatihah),
ruku, sujud, duduk pada akhir
sembahyang. Inilah rukun yang disepakati semua Imam, sementara pada yang
lainnya diperselisih pandang mahzab.
Mengenai
niat fardhu bagi sembahyang, di ijma’i
para imam. Abu Hanifah.RA dan
Ahmad membolehkan mendahulukan niat atas takbir asal tidak terlalu lama dengan
sebelum takbir. Malik dan Asy-Syafie berpendapat mewajibkan muqaranah niat
dengan takbir, tak boleh didahulukan dan tak boleh dikemudiankan. Kata
Al-Qaffal seorang Ulama besar dalam mahzab Asy Syafie :Apabila niat itu
muqaranah dengan awal takbir, sahlah sembayang itu. Kata An Nawawy: Pendapat
yang dipilih dalam soal ini, ialah cukup muqaranah urfiyah ‘ammiyah, yaitu asal
saja tidak dipandang lalai dari sembahyang. Inilah yang diamalkan para Salaf.
Takbiratul
ihram suatu fardhu sembahyang dan harus
di lafadzkan. Hukum ini disepakati. Menurut suatu hikayat dari Az Zuhry, bahwa
beliau mensahkan sembahyang dengan berwujudnya niat sembahyang, kendati tidak
diucapkan takbir.
Sah ihram
untuk sembahyang dengan ucapan takbir “Allahu Akbar”. Hukum ini disepakati.
Apakah lafadz yang lain sah juga untuk mengwujudkan ihram ? Menurut pendapat
Abu Hanifah.RA , sah ihram dengan segala lafadzh ta’dhim dan tafkhim, seperti
Allah Djalil, Allahu Adhiem, dan sah dengan lafadzh Allah saja. Sementara
menurut Imam Asy-Syafie sah dengan ucapan lafadzh Allhu Akbar. Malik dan Ahmad
tidak mensahkan selain dengan lafadzh Allahu Akbar.
Orang yang
bertakbir dalam bahasa Arab, tidak sah bertakbir dengan bahasa lain. Hukum ini
disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah.RA :Sah.
Mengangkat
dua tangan saat bertakbiratul ihram, hukumnya sunat”. Ini diidjmai. Hanya
mereka berselisihan tentang watas mengangkat tangan itu.
Menurut
Malik dan Asy Syafie diangkat setentang bahu. Abu Haniefah menetapkan setentang
telinga. Dari Ahmad diperoleh tiga pendapat, setentang bahu, setentang telinga,
boleh setentang telinga, boleh setentang bahu. Ini disepakati oleh Al Chiraqy.
Mengangkat tangan, diwaktu takbir, ruku, dan itidal, adalah sunat. Begini juga
pendapat Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah: Tidak.
Berdiri
fardhu dalam sembahyang, fardhu atas orang yang sanggup. Bila ditinggalkan pada
hal sanggup dikerjakan, tidak sah sembahyangnya. Sementara tidak sanggup
berdiri, hendaklah duduk. Ini disepakati
semua imam.
Duduk
sebagai ganti berdiri, boleh secara bersila, boleh secara iftirasy. Pendapat
duduk secara bersila disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah: Boleh duduk
sebagaimana dikehendaki oleh yang duduk sendiri.
Apabila tak
sanggup duduk hendaklah berbaring atas lambung kanan, menghadap kiblat. Kalau
tak sanggup berbaring, hendaklah telentang atas punggung, kedua kakinya ke
kiblat supaya ruku sujudnya ke kiblat. Pendapat ini disetujui Malik dan Ahmad.
Kata Abu Hanifah: Dia tidur telentang atas punggungnya dan menghadap kiblat
dengan dua kakinya.
Apabila tak
sanggup cukup berisyarat dengan kepala, untuk ruku dan sujud hendaklah ia
berisyarat dengan mata. Menurut pendapat Abu Hanifah: Apabila sampai ke derajat
ini, gugurlah tugas sembahyangnya.
Selanjutnya
disukai kita meletakan tangan kanan atas tangan kiri didalam sembahyang. Dalam
suatu pendapat Malik, tangan itu diulurkan. Posisi tangan itu diletakan di
bawah dada diatas pusat. Demikian pendapat Malik. Kata Abu Hanifah:dibawah
pusat. Disukai supaya orang yang sedang sembahyang itu, memandang ke tempat
sujud. Dalam memandang ke tempat pesujudan ini disepakati semua imam empat.
Doa
iftitah dalam sembahyang, disunatkan.
Ini disetujui Abu Hanifah dan Ahmad. Kata Maliik:Tidak, hanya sesudah takbir
terus membaca surat Al Fatihah. Lafadzh iftitah ialah : “Wadjatu Wayahya
lilladzi fatharus samawathi wal ardhi hanifan muslimin wama ana minal musrikin.
Inna sholati wanusuki wamahyahya wamamati lillahi rabbil alamin. Laa
syarikallahu wa bidzalika umirtu wa ana minal muslimin”. Inilah lafadzh iftitah
yang dipilih Imam Asy Syafie. Abu Hanifah dan Ahmad memilih lafadzh:
Subhanakallahumma rabbana wabihamdhika watabarakas mukawata’la jadduka wala
illaha ghairuka. Kata Abu Yusuf: Yang baik dikumpulkan kedua-keduanya.
No comments:
Post a Comment