Thursday 26 July 2018

Hukum-Hukum yang mengenai syarat-syarat, rukun dan sifat-sifat sembahyang.


Takbir dapat menggugurkan dosa diri.
Oleh Nasrullah.
Sembahyang mempunyai beberapa syarat yang tidak sah sembahyangnya dengan ketiadaan syarat itu. Syarat yang mendahului kita melaksanakan sholat atau sembahyang yaitu wudhu dengan air atau tayamum jika tak tersedianya air untuk bewudhu. Selain itu juga berdiri di tempat yang suci bersih misalnya seperti langgar Musholah dan Masjid, menghadap kiblat dikala sanggup melakukannya dan mengetahui masuk waktu. Hukum ini semua disepakati oleh imam-imam yang empat.
Keterangan ini diambil dari Guru Fiqih Kami K.H.Abdul Khaliq.RA  yang kami Cinta, Kasih dan Sayang semata-mata karena Allah dan keterangan kitab hukum islam .  Kala itu Beliau membuka majelis ilmu fiqihnya dan menjelaskan keterangan hukum tata cara wudhu dan rukun-rukun sholat. Demikian juga kitab hukum fiqih pandangan 4 mahzab. Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam) hari ini terakhir berada di bulan Rajab, bulan  sebagaimana diketahui umat Muslim bahwa Rasulullah.SAW melaksanakan perjalanan Isra Mir’aj bertemu Allah dan menerima kewajiban bagi umatnya untuk melaksanakan sholat 5 waktu sehari semalam. Kebijaksanaan Rasulullah.SAW yang memberikan keringanan bagi umatnya untuk melaksanakan kewajiban sholat dari sebelumnya 50 kali sehari semalam menjadi 5 kali. Alhamdulillah. “Semoga Shalawat dan Salam Selalu Tercurah Atas Junjungan Nabi Muhammad.SAW beserta seluruh keluarga dan para sahabat beliau hingga akhir nanti”.
Lanjut lagi keterangan syarat sah sembahyang lainnya adalah menutup aurat sebagai syarat sah sembahyangnya. Ini disepakati oleh Abu Hanifah dan Ahmad. Kata Ashhab Malik : Menutupi aurat menjadi syarat kalau sanggup dikerjakan dan teringat. Kalau sengaja dibuka, padahal sanggup ditutupnya, batal deh sembahyangnya. Ada yang berkata juga: Menutup aurat suatu wajib yang berdiri sendiri, bukan syarat sah sembahyang. Jika seseorang bersembahyang dengan terbuka auratnya secara sengaja dipandang durhaka kendati sembahyangnya itu dipandang sah. Dan yang dipegang oleh ashhab Malik yang mutaakhirin, ialah tidak sah sembahyang bila dikerjakan dalam keadaan terbuka ‘aurat.
Sembahyang mempunyai rukun-rukun yang dikerjakan didalamnya, yaitu niat, takbiratul ihram, berdiri bagi orang yang sanggup, fardhu membaca  ayat suci Al-Alqur’an (Al-Fatihah),  ruku,  sujud, duduk pada akhir sembahyang. Inilah rukun yang disepakati semua Imam, sementara pada yang lainnya diperselisih pandang mahzab.
Mengenai niat fardhu bagi sembahyang, di ijma’i  para imam.  Abu Hanifah.RA dan Ahmad membolehkan mendahulukan niat atas takbir asal tidak terlalu lama dengan sebelum takbir. Malik dan Asy-Syafie berpendapat mewajibkan muqaranah niat dengan takbir, tak boleh didahulukan dan tak boleh dikemudiankan. Kata Al-Qaffal seorang Ulama besar dalam mahzab Asy Syafie :Apabila niat itu muqaranah dengan awal takbir, sahlah sembayang itu. Kata An Nawawy: Pendapat yang dipilih dalam soal ini, ialah cukup muqaranah urfiyah ‘ammiyah, yaitu asal saja tidak dipandang lalai dari sembahyang. Inilah yang diamalkan para Salaf.
Takbiratul ihram suatu fardhu  sembahyang dan harus di lafadzkan. Hukum ini disepakati. Menurut suatu hikayat dari Az Zuhry, bahwa beliau mensahkan sembahyang dengan berwujudnya niat sembahyang, kendati tidak diucapkan takbir.
Sah ihram untuk sembahyang dengan ucapan takbir “Allahu Akbar”. Hukum ini disepakati. Apakah lafadz yang lain sah juga untuk mengwujudkan ihram ? Menurut pendapat Abu Hanifah.RA , sah ihram dengan segala lafadzh ta’dhim dan tafkhim, seperti Allah Djalil, Allahu Adhiem, dan sah dengan lafadzh Allah saja. Sementara menurut Imam Asy-Syafie sah dengan ucapan lafadzh Allhu Akbar. Malik dan Ahmad tidak mensahkan selain dengan lafadzh Allahu Akbar.
Orang yang bertakbir dalam bahasa Arab, tidak sah bertakbir dengan bahasa lain. Hukum ini disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah.RA :Sah.
Mengangkat dua tangan saat bertakbiratul ihram, hukumnya sunat”. Ini diidjmai. Hanya mereka berselisihan tentang watas mengangkat tangan itu.
Menurut Malik dan Asy Syafie diangkat setentang bahu. Abu Haniefah menetapkan setentang telinga. Dari Ahmad diperoleh tiga pendapat, setentang bahu, setentang telinga, boleh setentang telinga, boleh setentang bahu. Ini disepakati oleh Al Chiraqy. Mengangkat tangan, diwaktu takbir, ruku, dan itidal, adalah sunat. Begini juga pendapat Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah: Tidak.
Berdiri fardhu dalam sembahyang, fardhu atas orang yang sanggup. Bila ditinggalkan pada hal sanggup dikerjakan, tidak sah sembahyangnya. Sementara tidak sanggup berdiri, hendaklah duduk.  Ini disepakati semua imam.
Duduk sebagai ganti berdiri, boleh secara bersila, boleh secara iftirasy. Pendapat duduk secara bersila disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah: Boleh duduk sebagaimana dikehendaki oleh yang duduk sendiri.
Apabila tak sanggup duduk hendaklah berbaring atas lambung kanan, menghadap kiblat. Kalau tak sanggup berbaring, hendaklah telentang atas punggung, kedua kakinya ke kiblat supaya ruku sujudnya ke kiblat. Pendapat ini disetujui Malik dan Ahmad. Kata Abu Hanifah: Dia tidur telentang atas punggungnya dan menghadap kiblat dengan dua kakinya.
Apabila tak sanggup cukup berisyarat dengan kepala, untuk ruku dan sujud hendaklah ia berisyarat dengan mata. Menurut pendapat Abu Hanifah: Apabila sampai ke derajat ini, gugurlah tugas sembahyangnya.
Selanjutnya disukai kita meletakan tangan kanan atas tangan kiri didalam sembahyang. Dalam suatu pendapat Malik, tangan itu diulurkan. Posisi tangan itu diletakan di bawah dada diatas pusat. Demikian pendapat Malik. Kata Abu Hanifah:dibawah pusat. Disukai supaya orang yang sedang sembahyang itu, memandang ke tempat sujud. Dalam memandang ke tempat pesujudan ini disepakati semua imam empat.
Doa iftitah  dalam sembahyang, disunatkan. Ini disetujui Abu Hanifah dan Ahmad. Kata Maliik:Tidak, hanya sesudah takbir terus membaca surat Al Fatihah. Lafadzh iftitah ialah : “Wadjatu Wayahya lilladzi fatharus samawathi wal ardhi hanifan muslimin wama ana minal musrikin. Inna sholati wanusuki wamahyahya wamamati lillahi rabbil alamin. Laa syarikallahu wa bidzalika umirtu wa ana minal muslimin”. Inilah lafadzh iftitah yang dipilih Imam Asy Syafie. Abu Hanifah dan Ahmad memilih lafadzh: Subhanakallahumma rabbana wabihamdhika watabarakas mukawata’la jadduka wala illaha ghairuka. Kata Abu Yusuf: Yang baik dikumpulkan kedua-keduanya.


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls